I'd take another chance
Take a fall, take a shot for you
***
Bunyi langkah-langkah kaki terdengar menggema dari koridor itu. Diikuti dengan dengusan nafas frustasi yang berasal dari seseorang yang sedang mengejar langkah-langkah tersebut. Aku tak sanggup untuk mengejar langkah-langkah besarnya lagi.
"Raffa, tunggu." kataku dengan nafas tersengal.
Untunglah kali ini Raffa mau berhenti walau aku tahu, akulah orang yang paling tidak ingin ditemuinya saat ini.
"Aku mau minta maaf, oke?"
"Aku nggak butuh Fay" balas Raffa dingin.
"Aku minta maaf kalau menurut kamu, keberadaanku menganggu kehidupan kamu dengannya. Tapi siapa yang pertama salah disini, Raffa? Apa salah temanmu satu ini ingin tahu bagaimana kehidupan dengan dia?" kataku dengan emosi tertahan. Aku tahu, bukan aku yang memulai ini semua, tapi kelakuakn Raffa terhadap Lisa yang membuatku jengkel dan tanpa sadar menyalahkan semuanya kepada Raffa.
Raffa hanya menatapku dengan dingin tanpa berkata apa-apa. Detik demi detik terlewatkan. Hanya kesunyian yang menjadi teman kita. Aku sudah tidak sabar dan ingin berkata lagi, namun seketika itu, Raffa membuka mulutnya.
"Nggak usah ikut campur, Faya."
Hanya 5 kata yang terdengar. Dan itu membuatku semakin jengkel karena dia tak kunjung memaafkanku.
"Gimana mau nggak ikut campur kalau yang kamu lakuin ini semuanya salah, Raffa? Nggak kasihan, ngeliat Lisa tiap hari merenungi kamu terus? Jangan sekali-kali mempermainkan hati perempuan, Fa."
Derap langkah kaki terdengar lagi--dan itu berasal dari kakiku sendiri. Aku sudah tidak bisa berada dalam satu tempat bersama Raffa atau lama-lama aku bisa memukulnya, bila mungkin.
Raffa hanya merenung mendengar kata-kata Faya. Ia kesal dengan Faya yang sudah seenaknya menasehati dan ikut campur dalam kehidupannya dengan Lisa. Namun, semakin Faya ingin meminta maaf, semakin terlihat bahwa yang salah sebenarnya adalah Raffa. Kata-kata itu tepat seperti pisau yang menusuk jantungnya.
Apa yang sudah kulakukan?
Selalu. Selalu Faya yang salah bagi Raffa. Dia dibutakan oleh permainan sejenak yang membuatnya bersembunyi dari kenyataan. Kenyataan dimana dia telah menyakiti perempuan yang selalu sabar menunggunya.
Sial. Faya benar.
"Raffa, tunggu." kataku dengan nafas tersengal.
Untunglah kali ini Raffa mau berhenti walau aku tahu, akulah orang yang paling tidak ingin ditemuinya saat ini.
"Aku mau minta maaf, oke?"
"Aku nggak butuh Fay" balas Raffa dingin.
"Aku minta maaf kalau menurut kamu, keberadaanku menganggu kehidupan kamu dengannya. Tapi siapa yang pertama salah disini, Raffa? Apa salah temanmu satu ini ingin tahu bagaimana kehidupan dengan dia?" kataku dengan emosi tertahan. Aku tahu, bukan aku yang memulai ini semua, tapi kelakuakn Raffa terhadap Lisa yang membuatku jengkel dan tanpa sadar menyalahkan semuanya kepada Raffa.
Raffa hanya menatapku dengan dingin tanpa berkata apa-apa. Detik demi detik terlewatkan. Hanya kesunyian yang menjadi teman kita. Aku sudah tidak sabar dan ingin berkata lagi, namun seketika itu, Raffa membuka mulutnya.
"Nggak usah ikut campur, Faya."
Hanya 5 kata yang terdengar. Dan itu membuatku semakin jengkel karena dia tak kunjung memaafkanku.
"Gimana mau nggak ikut campur kalau yang kamu lakuin ini semuanya salah, Raffa? Nggak kasihan, ngeliat Lisa tiap hari merenungi kamu terus? Jangan sekali-kali mempermainkan hati perempuan, Fa."
Derap langkah kaki terdengar lagi--dan itu berasal dari kakiku sendiri. Aku sudah tidak bisa berada dalam satu tempat bersama Raffa atau lama-lama aku bisa memukulnya, bila mungkin.
Raffa hanya merenung mendengar kata-kata Faya. Ia kesal dengan Faya yang sudah seenaknya menasehati dan ikut campur dalam kehidupannya dengan Lisa. Namun, semakin Faya ingin meminta maaf, semakin terlihat bahwa yang salah sebenarnya adalah Raffa. Kata-kata itu tepat seperti pisau yang menusuk jantungnya.
Apa yang sudah kulakukan?
Selalu. Selalu Faya yang salah bagi Raffa. Dia dibutakan oleh permainan sejenak yang membuatnya bersembunyi dari kenyataan. Kenyataan dimana dia telah menyakiti perempuan yang selalu sabar menunggunya.
Sial. Faya benar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar